Bagaimana
perasaanmu, jika aku menjadi kekasihmu?” tanya wanita jelita itu, saat
mentari memerah jingga dijelang ufuk cakrawala. Si Wartawan sempat
terbelalak, sebelum menjawab mengatasi gagap.
“Aku
pasti akan cemburu pada surya yang hendak terbenam itu, karena ia telah
membelai kedua pipimu dengan tangan-tangan cahayanya. Aku takut, surya
itu akan mencuri sesuatu darimu sebelum ia beranjak pergi, sampai ke
peraduannya. Aku juga tidak akan rela senyum manismu dicuri kedua
kawanku ini. Di mataku, kedua lelaki ini berubah menjadi dua pencopet
yang terus mengincar permata darimu, senyummu, kata-katamu, lirikan
matamu.
“Tapi mengapa kamu santai saja, tidak tampak serius dan cemburu, saat kedua temanmu ini begitu lekat menatapku?”
“Mengapa
aku harus cemburu? Saat ini perhatianmu masih terbagi pada tiga orang.
Bagaimana mungkin sebidang tanah kugarap, jika ia dimiliki tidak hanya
olehku, tetapi juga orang lain? Namun saat aku sendiri yang memilikinya,
tentu aku akan serius, cemburu, memagarinya tinggi-tinggi!”
“Berarti
cintamu berdasar atas asas kepemilikan,” ujar si Jelita enteng, dan
mulai mengalihkan pandangannya kepada kedua lelaki lainnya.
Potongan
dialog di atas, dikutip dari cerpen "Dalam Perjamuan Cinta" karya
Taufiq el Hakim, seorang sastrawan Mesir. Cinta memang kerap direduksi
menjadi soal kepemilikan, soal memberi dan mendapat balasan atas
sesuatu. Memang gak ngepas banget dengan lagunya Celine Dion, "give, and
asking nothing in return"
Dicintai, mungkin akan membuat kita
bangga, hati berbunga-bunga dan senangnya tiada tara. Tapi apakah kita
akan benar-benar bahagia karenanya? Apakah ketika dicintai kita seperti
mendapat energi yang tiada habis-habisnya untuk melanglang padang derita
dalam menjalani cinta? Dari kenyataan pribadi, semua ini justru akan
membuat kita lemah kedepannya. Dicintai memang indah dan membanggakan,
tapi mencintai dengan tulus justru akan lebih berharga dan membuat kita
lebih matang. Lalu, energi apa yang membuat kita bisa selalu kuat dalam
mengarungi samudera cinta?
Energi yang tiada habis-habisnya itu
hanya bisa kita dapatkan ketika sedang "mencinta". Berbalas atau tidak,
memiliki atau tidak, bahkan pernah dia tahu atau tidak, bukanlah menjadi
sesuatu yang penting lagi. Berilah semua yang kita miliki, pasti kita
akan mendapatkan semua yang kita inginkan. Tuhan saja, tak pernah butuh
cinta dari siapapun, tapi Dia ada dan selalu perkasa, karena sepanjang
detak waktu, senantiasa menabur cinta.
Menurut hati kecil saya “mencintai” itu jauh lebih mudah daripada yang namanya “dicintai” karena mencintai itu diri kitalah yang memainkan peranan dan mengatur perasaan di hati kita kan? Kitalah yang memiliki kunci akses untuk masuk ke hati kita bukan? Jadi cukup membuka pintu hati kita, lalu mengaktifkan tombol “Cinta” ke mode “On” dan lagi mencintai artinya kita bisa mensetting seberapa banyak volume cinta yang akan berikan ke seseorang, penuh, setengah, seperempat atau sekedarnya
Sedangkan “dicintai” ternyata bukan hal yang mudah loh… Bahkan bisa dibilang sulit dan rumit. Bayangkan kita dituntut untuk bisa “menaklukkan” si pemegang kunci hati. Berbagai usaha harus dilakukan, mulai dari memberi perhatian lebih, sms, traktir, jalan-jalan ekstra sabar, selalu berusaha ada untuk si doi dan lain lain, cape bukan? Iya, dan kalo beruntung, maka kunci hatinya pun akan jatuh ke tangan kita dan dia pun akan memberikan hati dan cintanya kalo engga semua perhatian dan usaha keras yang kita lakukan bisa bikin orang itu bete abis, bahkan melihat kita aja ogah kali yah dan banyak usaha keras yang kita lakukan tersebut hanya mentok sampai tahap teman dekat saja itupun kalo si doi masih mau jadi temen, tapi ada loh setelah ini dia lari kebirit birit karena takut di buru.
Sekarang, kita tinggal bertanya kepada hati saat mencintai. Tuluskah, atau masih mempersoalkan kepemilikan, soal memberi dan mendapat balasan atas cinta kita?
Love you till the end of the days...!
sumber: http://www.iskaruji.com/2011/01/memilih-mencintai-atau-dicintai.html